Flexing : Antara Harapan dan Kenyataan

(Oleh: Fr. Stefanus Damai, CMM., S.E., M.Pd.)

Perkembangan teknologi begitu cepat. Kehadirannya memberikan banyak kemudahan kepada manusia untuk dapat beraktifitas secara efektif dan efisien. Namun terkadang orang tertentu salah atau keliru menggunakannya. Setiap orang berhak menggunakan media sosial namun harus disertai etika dalam bermedia. Media sosial bukanlah etalase atau tempat pamer kesombongan dan kemewahan yang manipulatif. Medsos adalah tempat kita saling berbagi dan mengabarkan hal-hal positif dalam kehidupan sehingga dapat dipakai oleh orang lain sebagai referensi dalam menata hidupnya agar menjadi lebih baik.

Akhir-akhir ini ramai diperbincangkan tentang flexing. Orang membicarakannya tentu punya alasan yang mendasarinya. Sebelum bicara lebih jauh tentang flexing ada baiknya kita perlu pahami dulu apa itu flexing. Sederhananya begini: flexing adalah kata bahasa Inggris yang berasal dari flex (verb+ing). Apabila diartikan ke bahasa Indonesia, flex sendiri berarti pamer atau memamerkan diri, (https://palu.tribunnews.com/2021/10/06).

Belajar Bersyukur

Di media sosial kita dapat menemukan begitu banyak orang memamerkan apa yang dimilikinya. Parahnya, ketika lagi melakukan aksi pamer-pameran, mereka (sebagian) cenderung menghina orang lain. Bila direnungkan secara lebih mendalam, sebanarnya “si pemeran pamer itu” bukanlah siapa-siapa. Dia hanyalah manusia biasa yang mendapat berkat dari Tuhan atau hanya dimanfaatkan oleh orang lain untuk memamerkan produk milik si kaya. Namun sayangnya, bukanya bersyukur malah menyombongkan diri dengan memamerkan segala yang dimilikinya dengan segala keangkuhan dan kepongahan. Ini yang saya sebut sebagai mentalitas flexing. Ingatlah, bahwa apa yang sedang kaumiliki itu hanyalah titipan sementara dari Sang Pemilik segala kekayaan. Atau jangan-jangan anda hanyalah obyek penderita dari si pemilik harta. Ada saatnya nanti, segala yang kau miliki itu akan menjadi kenangan saja dan Sang Empunya kekayaan itu akan menariknya kembali karena engkau tidak tahu bersyukur. Jadi jangan pamer kesombonganmu karena itu akan segera menghilangkan berkat yang sedang dititipkan kepadamu.

Berkaitan hal di atas, Rhenald Kasali menyatakan bahwa flexing merupakan sebuah istilah yang memiliki arti pamer kemewahan. Perilaku ini paling banyak ditemui di sejumlah media sosial, seperti Instagram, TikTok, YouTube, atau platform lainnya. Lebih lanjut, Kasali menuturkan bahwa orang kaya yang sesungguhnya sejatinya tidak ingin menjadi pusat perhatian. Sebab, ada sebuah pepatah mengatakan poverty screams, but wealth whispers. "Biasanya, kalau semakin kaya orang-orang justru semakin menghendaki privasi, tidak ingin jadi pusat perhatian," tuturnya. Oleh karena itu, flexing justru, menurutnya, bukan orang kaya yang sesungguhnya.  Bahkan, jika benar-benar tujuannya untuk menarik perhatian, flexing bisa jadi hanya menjadi strategi marketing. (https://caritahu.kontan.co.id/news/).

Sementara itu,  dari sumber yang sama dikatakan bahwa menurut Cambridge Dictionary, flexing adalah suatu tindakan menunjukkan sesuatu yang dimiliki atau diraih tetapi dengan cara yang dianggap oleh orang lain tidak menyenangkan. Sedangkan mengacu kamus Merriam-Webster, flexing adalah memamerkan sesuatu atau yang dimiliki secara mencolok.

Point Penting untuk Disadari

Memamerkan sesuatu yang berlebihan itu tidaklah baik apalagi kalau yang dipamerkan itu bukanlah milik kita sendiri melainkan titipan orang lain yang kemudian kita jadikan seolah-olah itu adalah milik kita. Ini, jelas suatu kebohongan. Parahnya lagi, ada banyak orang yang hidupnya serba kreditan tapi pamernya layaknya seorang kaya sungguhan. Ini yang saya sebuat sebagai “harapan yang melayang ke udara” tapi kenyataanya barang yang dipakai adalah milik orang lain. Hiduplah sesuai dengan kemampuan dan jangan paksakan diri untuk menjadi “sultan” bila memang belum waktunya. Berusalah dengan cara yang benar untuk menjadi benar-benar “sultan” daripada hanya sekedar pemeran imajinatif yang membohongi banyak orang. Hidup saja sesuai isi dompetmu dan jangan pernah hidup dengan cara menghitung isi dompet orang lain.

Bijak Bermedia Sosial

Menjadi bijak dalam segala hal tentu tidaklah muda. Manusia diselimuti oleh segudang keinginan atau nafsu untuk memiliki banyak hal, seperti dikenal dan disukai orang lain karena memiliki banyak kekayaan atau hal-hal baik dalam hidup. Semuanya itu adalah manusiawi dan biasa saja. Namun yang paling penting dari semuanya itu adalah bijaksana (memikirkan dampaknya untuk orang lain) dan bijaksini (memikirkan dampaknya untuk diri sendiri). Ketika anda dianugerahi berkat ataupun kelimpahan di dalam hidup ada baiknya jangan jadikan media sosial sebagai etalase kesombongan diri. Bila engkau berkelimpahan: berikanlah itu kepada orang lain tanpa harus digembar-gemborkan. Tuhan pasti tahu apa yang sedang kau perbuat. Bila itu tulus maka balasannya akan tak terduga banyaknya.

Berjuanglah untuk Harapan Itu

Untuk menggapai suatu keberhasilan tidak terjadi secara instan. Ia diproses mealui berbagai daya upaya yang menguras tenaga, pikiran, waktu dan perasaan. Usaha yang tulus secara terus menerus serta dibekali doa yang benar akan mengantarkan kita menuju suatu babak baru dalam kehidupan kita yaitu peluang untuk menjadi pribadi yang sukses akan terbuka. Ini tentu tidak mudah, kita harus bersabar dan terus melakukan apa yang mendukung keberhasilan itu melalui proses-proses yang ada sehingga apa yang menjadi harapan itu nantinya akan menjadi kenyataan yang benar bukan sekedar pamer kekayaan hasil manipulatif atau tipuan aplikasi semata. Kita semua mempunyai kesempatan untuk menjadi sukses asalkan diproses secara menar. Belajarlah dari para “sultan benaran itu”. Kita bisa disenangi oleh orang lain kalau kita jujur dalam meproses setiap yang kita raih dan miliki. Sejatinya manusia itu dipanggil untuk menjadi berkat dan mencitai orang lain melalui cara kita bertindak dan bertutur. Manfaatkan medsos untuk membangkitkan gairah hidup sesamamu bukan malah mematikannya karena kesombongan dan keangkuhan. Hidup yang baik adalah pilihan manusia yang berkeadilan sosial dan berketuhanan, pastinya. Semoga mentalitas flexing tidak lagi mengusik kemanusiaan kita.

Penutup

Kehadiran medsos sangat membantu manusia utk saling terkonek satu dgn lainnya. Ada banyak hal positif dari medsos. Orang bisa berjualan dan membeli secara online. Proses pembelajaran dan pertemuan bisa dilakukan secara daring dan banyak manfaat lainnya. Namun tak sedikit orang yang kurang bijak menggunakannya. Orang terperangkap pd apa yg disebut sebagai mentalitas flexing: suka memamerkan atau menyombongkan diri dgn apa yang dimiliki. Orang suka tampil dengan wajah yang aduhai hasil tipuan aplikasi. Sedekahkan sebagian milikmu daripada sekedar pamer hasil kreditan dan pamer wajah hasil tipuan aplikasi. Hiduplah sebagaimana adanya, jangan dipaksakan kalau belum bisa. Nikmati wajahmu sendiri tanpa harus membandingkan nya dengan orang lain. Kamu itu berharga, wajah dan gayamu unik, kamu sangat berharga di mata Sang Penciptamu. (SDM06022022)